Gonjang-ganjing penolakan SPT Masa PPN karena tidak menggunakan aplikasi eTax, semakin marak. Apakah yang mendasari penolakan tersebut? Benarkah bahwa memang perangkat penerimaan SPT Masa PPN “lama” sudah ditiadakan? Ataukah salah penafsiran oleh petugas KPP?
Di sini saya mencoba mengupas pokok masalahnya dan mencoba mendudukan ke porsi yang benar.
Seperti kita ketahui bahwa masalah efaktur, diatur dengan PER-16/PJ/2014, sehingga apabila ada bahasan mengenai SPT Masa PPN terus merujuk ke PER-16 adalah sangat tidak pas. Tidak semua PKP diwajibkan efaktur, pengecualiannya diatur di Pasal 2 ayat (2) bunyi selengkapnya :
Kewajiban pembuatan e-Faktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak :
a. yang dilakukan oleh pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012;
b. yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Toko Retail kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16E Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; dan
c. yang bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilainya berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Muncul pertanyaan, kenapa mereka ini dikecualikan? Jawaban sangat jelas, karena PKP jenis ini “niscaya” menerbitkan FP “lengkap”, mereka hanya menerbitkan FP “Gunggungan” dan Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak (Dokumen lain). Berdasarkan pertimbangan inilah mereka dikecualikan. Karena dikecualikan, maka mereka tidak wajib pula meminta Sertifikat Elektronik (SE), dan tidak perlu juga memiliki aplikasi etax yang teraktivasi. Atau kalau boleh kita perluas pemahamannya dapat kita simpulkan bahwa semua PKP yang tidak menerbitkan FP “lengkap” belum wajib efaktur.
Muncul Pertanyaan berikutnya, kalau mereka dikecualikan wajib efaktur, sehingga tidak wajib meminta SE dan tidak punya aplikasi eTax, SPT PPN-nya dibuat memakai aplikasi eSPT yang mana? Jawabannya sangat jelas, menggunakan aplikasi eSPT PPN “lama” (eSPT PPN 1111).
Praktek di lapangan, pelaporan SPT Masa PPN “lama” ini ditolak, dan diwajibkan membuat SPT PPN dengan menggunakan aplikasi eTax, tanpa dijelaskan kenapa ditolak dan merujuk pada ketentuan yang mana..
Menyusul PER-16/PJ/2015 yang mengatur tentang efaktur, terbitlah PER-29/PJ/2015 yang mengatur tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian SPT Masa PPN. Di dalam PER-29 ini sangat jelas diatur bahwa bagi PKP yang dikecualikan dari kewajiban efaktur , maka pembuatan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi eSPT PPN “lama” (eSPT PPN 1111), simpulan ini merujuk pada :
- Pasal 3 ayat (1) : SPT Masa PPN dapat berbentuk formulir kertas (hardcopy) atau dokumen elektronik.
- Pasal 3 ayat (3) : Aplikasi yang dipergunakan PKP untuk membuat SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk dokumen elektronik, yaitu : Aplikasi e-SPT atau Aplikasi e-Faktur. Dari dua ayat tersebut sudah cukup jelas, bahwa SPT Masa PPN dapat dibuat dengan menggunakan Aplikasi e-SPT atau Aplikasi e-Faktur..
Jadi...., apabila masih ditolak, sampaikan melalui pos atau ekspedisi..
Apabila kita akan menerbitkan
Faktur Pajak Keluaran (FPK) dengan jumlah yang banyak, maka yang paling praktis
adalah menggunakan fasilitas impor. Namun entah kenapa format skema impornya
dirancang sangat aneh dan sangat menyulitkan para pengguna.
Berdasarkan pertimbangan
tersebut saya mencoba membuat aplikasi penolong untuk memudahkan “mengisi” data
FPK ke dalam skema impor efaktur.
Klik
di sini. untuk mencobanya..
Sore
itu, sedang enak-enaknya nongkrong di depan rumah sambil ngopi, ujug-ujug
sobatku dating. Belum juga sempat duduk udah nerocos, “Kang, aku mau tanya,
boleh khan?”
“Ndak
boleh, duduk dulu, ngopi dulu, baru kita ngobrol,” sahutku.
Setelah
nyruput kopinya, sobatku langsung membuka pertanyaannya. “Gini lho kang, berkat
doa kakang saya sekarang punya usaha futsal. Yang jadi masalah adalah gimana
saya ngetung pajaknya? Maksud saya PPh-nya. Saya sudah tanya ke sana ke mari,
ada yang bilang kena PPh Final ada juga yang bilang PPh “biasa”. Mana sih yang
bener, kang?”
“Tanya
ke sana ke mari, itu maksudmu piye?”
“Maksud
gue, tanya ke orang pajak, juga ke orang yang biasa ngurus pajak,” sahut
sobatku pake dialek Betawi.
“Yang
bilang kena PPh Final itu, karena kamu dianggap memperoleh penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan. Sedang yang bilang kena PPh “biasa” karena
menganggap kamu menerima penghasilan dari usaha dan kegiatan biasa, tapi mulai
01 Juli 2013 bisa juga kena PPh Final 1% kalau omset setahun belum melebihi 4,8
milyar,” jawab saya mulai menerangkan.
“Tetap
nggak mudheng,” sobatku menyahut.
“Baik,
sekarang duduk manis dan dengerin penjelasan gue,” jawab saya ikutan pake
dialek Betawi.
“Gini,
lho le,” saya biasa memanggil sobatku dengan kata “thole” yaitu panggilan akrab
dari bahasa Jawa yang dipake kepada seseorang yang lebih muda.
“Mereka
yang bilang dikenai PPh Final itu karena menganggap usaha futsal itu adalah
sama dengan usaha persewaan tanah dan/atau bangunan, tapi apa memang benar
demikian? Mari kita runut ketentuan yang mengatur.”
Objek PPh Final atas penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1996 dan telah
diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002, adalah atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan berupa :
1. tanah,
2. rumah,
3. rumah susun,
4. apartemen,
5. kondominium,
6. gedung perkantoran,
7. rumah kantor,
8. toko,
9. rumah toko,
10. gudang dan industri
Kemudian diubah/ditambah
oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 394/KMK.04/1996, objeknya menjadi atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan berupa :
1. tanah,
2. rumah,
3. rumah susun,
4. apartemen,
5. kondominium,
6. gedung perkantoran,
7. pertokoan,
atau pertemuan termasuk bagiannya,
8. rumah kantor,
9. toko,
10. rumah toko,
11. gudang dan bangunan industri
Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa objek PPh Final atas penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan sudah pasti atau merupakan positif list, tidak boleh menambah atau mengurangi dengan
penafsiran sendiri. Dengan demikian, kalau tidak disebutkan dalam positif list tersebut, bukan merupakan
objek PPh Final atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
Sebagai
contoh : rumah sakit, gedung bioskop, gedung olah raga, lapangan golf atau
lapangan olah lainnya, karena tidak disebutkan dalam positif list tersebut, maka bukan merupakan objek PPh Final atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
“Lapangan
futsal tak ubahnya seperti lapangan golf, lapangan tenis, lapangan sepak bola
atau lapangan olah raga lainnya. Sekarang sudah mudheng, apa belum?” tanya
saya.
“Siiip,” sahut sobatku
sambil ngeluyur pulang tanpa pamitan.
Dengan diluncurkannya patch eSPT PPh 21 v.2.1 maka sudah menjawab keluhan saya tentang tidak bisa meng-input data atas penghasilan bruto pegawai tidak tetap yang tidak/belum terutang pajak dalam eSPT.
Di versi baru ini (v.2.1) kita melaporkan penghasilan bruto pegawai tidak tetap dengan jalan diisikan secara langsung di menu SPT Induk, karena di tab B.1 Daftar Pemotongan, mulai dari nomor 1 sampai dengan nomor 11 seluruhnya editable, yang di versi sebelumnya (v.2.0) tidak bisa dilakukan, karena seluruhnya non editable. Namun demikian versi baru ini malahan kacau, yaitu :
- Dalam baris jumlah (nomor 11) tidak secara serta merta menjumlah sendiri, kita harus menjumlahnya sendiri secara manual;
- Tab B.1 Daftar Pemotongan mulai dari nomor 1 sampai dengan nomor 11 seluruhnya editable, dengan demikian bisa saja kita langsung mengisi SPT Induk tanpa terlebih dulu melalui menu lainnya, sebagaimana di versi sebelumnya (v.2.0);
- Data yang sudah kita input di SPT Induk dan sudah kita simpan akan masuk dalam database maupun hasil cetakan, tetapi apabila menu SPT Induk kita tutup dan kemudian dibuka lagi maka akan menampilkan data semula, berbeda dengan data yang kita simpan;
Dengan demikian apabila sampai dengan deadline pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari 2014 belum ada update lagi, maka saya ingin mengingatkan kepada para sahabat sekalian bahwa :
- Apabila kita telah selesai meng-input data di eSPT, jangan langsung percaya, terutama yang mengisi/menginput penghasilan bruto pegawai tidak tetap;
- buka SPT Induk, teliti kembali dan hitung secara manual;
- apabila memang sudah benar, segera simpan, cetak, dan buat file csv-nya untuk dilaporkan;
- Simpan arsip cetakan SPT Induk baik-baik, karena apabila kita ingin mencetaknya kembali, tampilan di SPT Induk sudah berbeda, dan kita juga nggak yakin apakah data yang kita simpan masih tetap atau sudah berubah/diubah;
- apabila aplikasi sudah ditutup, kemudian SPT Induk dibuka kembali dan berbeda dengan hasil cetakan, abaikan saja;
- dan....., selamat bingung..
Setelah
hampir delapan bulan sejak diterbitkan Per-14/PJ/2013 yang menetapkan bentuk
formulir baru SPT Masa PPh Pasal 21
yang diberlakukan mulai masa pajak Januari
2014, maka Direktorat Jenderal Pajak meluncurkan SPT Masa PPh Pasal 21
elektronik (e-SPT).
Seperti
saya duga sebelumnya, program e-SPT ini belum dapat mempermudah dan mempercepat
para Wajib Pajak dalam menyiapkan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk dilaporkan ke
Kantor Pelayanan Pajak. Sebagai catatan ada beberapa hal yang seyogyanya segera
dapat dilakukan perbaikan (update) oleh Direktorat Jenderal Pajak, yaitu :
· Penghitungan
pajak secara bulanan atas penghasilan pegawai tetap, masih dihitung sendiri,
belum “disediakan” oleh e-SPT;
· Daftar
Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap (form 1721-I) bulanan, tidak
dilengkapi menu cetaknya;
· Daftar
Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap (form 1721-I) tahunan, tidak
dilengkapi menu cetaknya;
· Tidak
ada menu untuk meng-entry jumlah pegawai tidak tetap dan jumlah penghasilan
brutonya apabila penghasilan para pegawai belum/tidak dipotong PPh Pasal 21,
sedangkan hal ini harus dilaporkan/diisikan di SPT Induknya;
· Bukti
Pemotongan PPh Pasal 21 Tidak Final (1721-VI) dan Final (1721-VII) tidak memuat
identitas Pemotong Pajak, tetapi hanya memuat identitas yang berhak
menandatangi Bukti Pemotongan;
· Dalam
hal melakukan impor data bukti potong ke database e-SPT, sering terjadi
masalah, tidak semudah sebagaimana di program e-SPT PPN 1111.
Sebagai
upaya untuk mempermudah dan mempercepat dalam menyiapkan SPT Masa PPh Pasal 21,
saya mencoba membuat aplikasi Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap dalam
satu tahun kalender untuk tahun 2014 dan seterusnya, dilengkapi dan meliputi :
·
Metode
Gross Up dan Non Gross Up;
·
Pegawai
lokal & ekspatriat;
·
Pegawai
yang menerima uang rapel dalam tahun berjalan;
·
Pegawai
yang berkerja selama 12 bulan;
· Pegawai
yang berkerja setelah bulan Januari (bekerja dalam tahun berjalan), baik yang
benar-benar pegawai baru maupun pegawai baru pindahan dari satu pemberi kerja
yang sama;
· Pegawai
yang berhenti berkerja dalam tahun berjalan, bulan di mana pegawai berhenti
merupakan masa pajak terakhir;
· Pegawai
yang ber-NPWP dlm tahun berjalan, masa pajak di mana pegawai dimulai ber-NPWP
secara otomatis telah menghitung kembali PPh Pasal 21 dalam masa pajak sebelum
ber-NPWP;
· Data penghitungan
otomatis tertuang dalam formulir 1721-A1 (dapat diakses masa kapanpun, tidak
hanya bulan Desember);
·
Dilengkapi
dengan form Slip Gaji;
·
Lembar
Penolong secara otomatis terisi, untuk keperluan impor ke database e-SPT;
· Form
1721-I Bulanan & Tahunan yang secara otomatis terisi, bagi yang masih
melaporkan dengan cara hardcopy (non eSPT)
Bagi yang berminat klik saja di sini.
Meskipun sudah umum dan banyak dibicarakan, tetapi menurut saya masih sangat relevan untuk dibahas karena masih banyak kekeliruan dalam memahami tentang kewajiban ber-NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
Banyak orang beranggapan bahwa apabila seseorang sudah ber-NPWP, maka sudah mulai harus bayar pajak. Dan apabila belum ber-NPWP tidak ada kewajiban membayar pajak. Pemahaman inilah yang mendorong orang untuk berusaha tidak usah ber-NPWP kecuali sangat terpaksa. Pemahaman ini sudah barang tentu tidak benar, bahkan hanya sekedar memberikan sanggahan misalnya, seperti ini :
- Apabila besok mau meninggal, baru ber-NPWP hari ini sehingga hanya memenuhi kewajiban bayar pajak satu hari saja, bukan begitu?
- Meskipun belum ber-NPWP, bukankah tetap bayar pajak/tetap dipotong pajak apabila kita memperoleh penghasilan dari pemotong pajak.
Kapan seharusnya ber-NPWP?
Untuk mengetahui kapan seharusnya kita ber-NPWP, harus dipahami dan dimengerti terlebih dulu syarat timbulnya utang pajak.
Utang pajak akan timbul apabila memenuhi syarat kumulatif :
- Memenuhi kewajiban pajak subjektif; dan
- Memenuhi kewajiban pajak objektif.
Memenuhi kewajiban pajak subjektif artinya ada subjeknya, atau ada orangnya dan memenuhi kewajiban pajak objektif artinya ada objeknya atau ada penghasilannya. Apabila hanya memenuhi salah satu syarat, belum timbul utang pajak.
Agar lebih jelas lagi saya ilustrasikan sebagai berikut :
A__________B____________C_____________D______________E
- Di titik A Tuan Ahmad lahir di Indonesia; mulai di titik A itulah muncul kewajiban pajak subjektif, namun karena belum berpenghasilan, maka belum muncul utang pajak.
- Dalam perjalanan hidupnya, di titik B Tuan Ahmad mulai berpenghasilan tetapi belum melampaui Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Dengan demikian mulai di titik B sudah memenuhi kewajiban pajak subjektif sekaligus memenuhi kewajiban pajak objektif, sehingga akan timbul utang pajak, meskipun sebesar Rp. 0
- Di titik C, penghasilan Tuan Ahmad sudah melampaui (PTKP). Dengan demikian mulai di titik B timbul utang pajak lebih besar dari Rp. 0
- Di penghujung perjalanan hidupnya, di titik E Tuan Ahmad meninggal dunia. Dengan demikian mulai titik E kewajiban pajak subjektifnya telah berakhir, sehingga tidak lagi timbul utang pajak, meskipun (misalnya) penghasilannya masih berlanjut.
Berdasarkan ilustrasi di atas, maka Tuan Ahmad harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP di titik B atau titik C. Terlambat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau sama sekali tidak mendaftarkan diri, termasuk dalam pengertian tidak mendaftarkan diri. Dengan demikian, apabila Tuan Ahmad baru mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP di titik D maka termasuk dalam pengertian tidak mendaftarkan diri… dan silahkan lihat di UU KUP sanksi apa yang akan dikenakan pada Tuan Ahmad. Di samping itu, meskipun Tuan Ahmad baru ber-NPWP di titik D, maka tetap saja utang pajak timbul mulai dari titik C dan tetap harus dibayar..
Simpulan
Bukan NPWP yang menimbulkan utang pajak, tetapi utang pajak yang menimbulkan kewajiban ber-NPWP..
Ijinkanlah saya “berhalo-halo” sebentar, ya….
Buat sobat-sobat yang berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya, dan di mana saja berada (uups.. kaya penyiar tivi) mohon diketahui bahwa Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Yogyakarta akan menyelenggarakan Lokakarya Perpajakan dengan pokok bahasan Pengelolaan Faktur Pajak dan Permasalahannya, pada tanggal 07 Desember 2011 bertempat di Restoran Pacific, jalan Magelang Yogyakarta (depan TVRI).
Bagi yang berminat untuk ikut bergabung, silahkan klik di sini. untuk detail informasinya..
Terima kasih.. 
Selengkapnya ..

Langganan:
Postingan (Atom)
Halaman
Unduhan
Penghit Penyusutan
SPT Masa PPN (Baru)
Kompak
SPT Tahunan PPh 2010
SPT Masa PPN
SPT Tahunan PPh 2009
PPh 21 Bukan Pegawai (PER-57)
Aplikasi Penghit PPh Ps 21 Final
Aplikasi PPh Ps 21 Peg. Tetap Bulanan
SSP Baru
Benchmark DJP
Lembar Penolong Pembuatan 1721-A1
Aplikasi SPT PPN 2010
Lembar Penolong FP IDR
SPT Masa PotPut (Per-53)
Arsip Blog
Mengenai Saya

- begawan5060
- Sebenarnya namaku Gunawan Wibisono, tetapi banyak sobatku yang mem-pleset-kan jadi Begawan Wibisono, yaah jadilah nama blog-ku ini. Aku hanyalah orang biasa yang selalu pengin belajar dan tukar pengalaman tentang perpajakan.